Kamis, 27 Agustus 2009

OBITUARI


(Ini cerita semasa Ayah pergi meninggalkan kami selama-lamanya. 0 April 1995 nanti, setahun sudah Ayah tidak lagi bersama kami, dan sumpah aku benar-benar merasakan Ayah masih bersamaku sampai kapan pun, tapi ketika aku rindu,…aku baru tersadar Ayah sudah tiada lagi,…)

Aku duduk sejenak, di atas kursi yang mulai tua bersama orangtua, Bundaku. Di rumah kami yang semakintua juga. Aku tatap mata yang berbinar-binar itu, raut wajah yang mulai keriput. Semangat nya terus mengalir seiring irama cerita masa mudanya dulu. Aku selalu sabar mendengar bait-bait cerita Bunda yang barang kali entah berapa kali sudah berulang-ulang ia cerita kan kepadaku.

Aku tetap berdialog, menanyakan dan memberi komen cerita Bunda, hingga,…tawa Bunda memecah keheningan malam yang mulai pekat, mata itu mulai letih menahan kantuk…Aku mencium kening Bunda dan lantas mengucapkan bahwa betapa aku meyayangi dirinya, begitu juga yang kulakukan pada Ayahku, yang sudah duluan terbaring, terlelap.

Ayahku, tidak dapat melihat tapi hatinya begitu berbinar dan terang. Dia tahu di mana langkah kakiku saat berjalan, begitu pun saat ia berjalan ia tak minta di papah, ia tahu kemana saja langkah yang dia bawah. dan Satu yang kini tak bisa aku lupakan dari ucapan ayah, kata yang sudah lama tak terdengar, “Hati-hati di jalan ya nak,” kata itu benar-benar syahdu dan menusuk ‘kantung’ sayangku. Mata ini juga berkaca-kaca, saat aku mulai menyapu dan melap lantai yang basah karena air bekas cebokan ayah saat pipis di ember yang telah disediakan kakakku, Anik.

Ketika mata mulai beradu pandang dengan abangku yang menyempatkan pagi sebelum berangkat kerja, membersih dan mengurut tubuh ayah, agar segar. Sesekali lontar kata bermakna keluar dari mulut abangku, Amin, dan terkadang juga ada senda gurau, sehingga aku bisa mendengar jelas suara tawa Ayah yang khas. Aku pun tidak membiarkan kelang waktu berlalu begitu saja, ikut nimbrung menyuntikkan kata-kata semangat kepada Ayah.

Kata-kata kami, ternyata sangat berarti bak obat mujarab, Ayah kini mulai mengerakkan sedikit tubuhnya, kekanan, dan kekiri, aku masih ingat itu, karena itu untuk sekian kali aku melihat senyum termanis Ayah. Senam kecil di atas pembaringan. Ayahku juga sudah mulai bisa berjalan lagi, perlahan dan pelan, Terima kasih ya Allah SWT, karena kekuatan dan kesehatan yang Engkau berikan kepada Ayahku walau sesaat dan akhirnya ia kembali kepangkuanmu, April 1995 lalu. Kata-kata ini tidak dijual di mal atau plaza mana pun dan tidak bisa dibayar dengan berapa rupiah pun, kata-kata sayang dari sang anak…dia dapat merasakan tangisku saat melihat keadaannya semakin tua renta…”Yah, kami sayang kamu…”.
***
Pernah kamu melakukannya? Menyisihkan sedikit waktumu untuk kedua orangtuamu yang masih hidup dan merasakan apa yang dirasakan orangtuamu saat melalui hari tuanya dalam sepi, tanpa suara kanak-kanakmu lagi?

Sungguh sangat kejam jika tidak sedikit pun kita memberikan kesempatan kepada waktu yang ada untuk memikirkan kedua orangtua kita selagi mereka hidup.

Bukan hanya memikirkan tapi menjenguk bahkan merawatnya hingga ajal menjemput…aku dapat merasakan dan berdoa, agar disisa-sisa umurku ini, aku diberikan kesempatan Allah SWT merawat dan menjaga mereka…ingat mereka tidak menginginkan uang atau harta berlimpah untuk balasannya, yang pernah membesarkan kita. Mereka hanya meminta sedikit waktu kita untuk mendengar dan bercekrama dengan mereka (sebutan orangtua), meski sedikit waktu yang kita berika, tapi itu sudah sangat berharga lebih dari pada permata...dan tak bisa diucap dengan kata-kata. I love you Abi and I love you Bunda…

Jumat, 14 Agustus 2009

“Minal Aidin wal Faizin”


Minal ‘Aidin Wal Faizin artinya bukan Mohon Maaf Lahir dan Batin

Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” acapkali didengar atau ditulis di media massa, di film, sinetron, acara halal-bihalal, atau ketika kita bertemu teman atau sudara. Akan tetapi banyak yang menyangka bahwa arti kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Mohon Maaf Lahir Dan Batin” seperti yang sering kita dengar. Padahal sama sekali bukan.

Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Kembali Ke Fitrah, Kembali ke Syariah

Awas Kesalahan Penulisan

1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasar ejaan indonesia
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”

Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena kesalahan penulisan abjad juga berarti makna yang salah. Seperti dalam bahasa inggris, antara Look dan Lock beda makna padahal cuman salah satu huruf bukan?

Rasulullah biasa mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum kepada para sahabat, yang artinya semoga Allah menerima aku dan kalian. Maksudnya menerima di sini adalah menerima segala amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan.

Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

Tulisan ini dikirim pada pada Kamis, September 3rd, 2009 1:00 pm dan di isikan dibawah Sekilas Komentar. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.

Senin, 10 Agustus 2009