Selasa, 07 April 2009

Situ Gintung Potret Bunuh Diri Lingkungan



Goei Tiong Ann Jr
Saya ikut prihatin atas masih saja muncul musibah yang meminta banyak korban jiwa.
Saya pun amat kaget saat membaca berbagai situs berita dari koran-koran di tanah air, termasuk koran ini (Jawa Pos 28 Maret 2009). Mendengar laporan pandangan mata dari bebagai radio online di Jakarta yang bisa didengarkan di internet juga semakin menambah miris di dalam hati.
Apa yang dikhawatirkan warga setempat dan juga aktivis lingkungan hidup kini benar-benar terjadi. Dua tahun lalu, warga setempat dan aktvis lingkungan sudah melaporkan situ yang tak dirawat, karena ada banyak longsoran kecil dan rembesan di sepanjang tanggul. Tapi, laporan itu tak digubris.

Jangan Salahkan Hujan
Konyolnya orang lebih suka menyalahkan hujan sebagai penyebab jebolnya tanggul di situ tersebut. Lihat Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio menjelaskan, jebolnya tanggul Situ Gintung karena hujan deras yang turun lima jam tanpa henti. Hujan ini membuat debit air bertambah sehingga terjadi limpasan ke luar.
Hujan sebenarnya tak layak dipersalahkan, Justru yang layak disalahkan ialah manusia. Manusia yang memulai semua bencana di Situ. Pertama, seperti diketahui Situ Gintung bukanlah telaga atau danau alami (natural), tetapi dibuat Belanda pada 1932. Semula Situ Gintung luasnya 31 hektare. Namun, karena proses sedimentasi atau pendangkalan, saat ini luasnya tinggal 21,4 hektare. Tujuan dibangunnya Situ Gintung adalah untuk persediaan air, perikanan, dan pengendalian banjir. Selama zaman Belanda, situ itu baik-baik saja, karena dirawat dan dimonitor dari waktu ke waktu.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir tangan-tangan manusia yang suka mengeksploitasi alam mendorong ecological suicide atau bunuh diri lingkungan, seperti akhirnya bisa kita lihat bersama. Pada zaman Belanda, sudah ada larangan dalam radius satu kilometer tak boleh ada bangunan atau rumah. Tapi, coba simak, dalam tiga puluh tahun terakhir, semakin banyak rumah dibangun di sekitar Situ Gintung.
Sejak dekade 1980-an, marak pembangunan perumahan di cekungan yang berada di bagian hilir situ. Akibatnya, topologi situ berubah. Perubahan itu tentu sangat berisiko dan kita sudah melihatnya sendiri.

Namun, kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah di sekitar situ. Bagaimanapun, pemerintah atau instansi yang punya wewenang pemberian izin (seperti IMB) seharusnya sejak dini membuat larangan tegas. Kalau pemerintah kolonial saja bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang tidak?
Kecuali itu, jangan lupa hutan di hulu sungai sudah digunduli. Tak ada pohon yang biasanya menyimpan air hujan. Keseimbangan alam sudah terganggu akibat ulah manusia pembabat hutan. Air hujan pun langsung masuk ke sungai dan Situ Gintung tidak mampu menampung debit air ketika hujan turun begitu lebat seperti pada Kamis (26 Maret 2009). Bencana mengerikan pun harus dan harus terjadi lagi.

Kecerdasan Ekologi
Sayang, kita hanya bisa menyesali bencana, ketika yang satu ini sudah terjadi. Kita belum punya langkah dan kebijakan antisipatif. Bahkan, ketika sudah ada laporan bahwa tanggul di Situ Gintung sudah memberikan sinyal bahaya dua tahun lalu. Sayang respons yang dibuat instansi yang berwenang begitu lamban. Padahal, untuk apa pun yang berisiko mengundang bahaya, khususnya bagi nyawa manusia, seharusnya membuat instansi berwenang mau bersikap serius dan lebih proaktif.
Di danau-danau atau telaga kecil di negara-negara Eropa, misalnya, sudah dibuat badan otorita khusus yang memberikan laporan atau memberikan early warning bila akan terjadi sesuatu.

Budaya kita memang hanya bisa merespons, sayang respons yang dibuat sering amat lamban. Padahal, bangsa-bangsa lain sudah bisa membuat langkah antisipatif guna meminimalkan dampak bencana. Sebenanarnya UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana juga mengamanatkan agar bencana ditanggulangi sebelum, saat, dan sesudah bencana. Boleh jadi ini semua mencerminkan kecerdasan ekologi kita memang masih rendah.

Kini bukan hanya kecerdasan otak (IQ) atau kecerdasan emosional (EQ), tapi juga EnQ atau Enviro Intelligence/kecerdasan ekologi.
Apa yang terjadi di Situ Gintung hendaknya segera menjadi pelajaran bagi banyak telaga, situ, atau danau di tempat lain. Kabarnya, Telaga Sarangan di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, juga memiliki persoalan seperti Situ Gintung. Untuk itu, harus segera dibuat langkah cepat, tepat, dan terkoordinasi sebagai bentuk antisipasi atau persiapan menyongsong segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Untuk kawasan Situ Gintung, harus segara ada relokasi bagi warga yang tinggal di dekatnya. Daerah hulu harus direboisasi kembali agar bila hujan lebat datang, debit air yang turun bisa kembali ditampung. Konstruksi tanggul di Situ Gintung juga perlu diperkuat agar tidak rawan jebol.

Dalam the Ecology of Commerce, Paul Hawken mengatakan, ecological suicide tengah menghancurkan kehidupan di bumi akibat ketamakan dan nafsu akan uang. Dibutuhkan ecological wisdom dengan mengasah kecerdasan ekologi kita, agar kita terhindar dari bencana yang lebih besar. Seharusnya para politikus, termasuk para capres dan pengurus parpol, sadar akan hal ini juga. Jangan hanya bernafsu meraih kekuasaan, sementara alam dan lingkungan kita rusak dan menjerit akibat eksploitasi tanpa henti. (*)

Aktivis lingkungan menetap di Roma, Italia.

Tidak ada komentar: