Minggu, 26 April 2009

MIMPI MEMBANGUN KABUPATEN TANGERANG.




MIMPI MEMBANGUN KABUPATEN TANGERANG
Oleh : Budi Usman , Penggiat dan Direktur Eksekutif komunike Tangerang Utara (www.budiusman.blogspot.com)


BAGI sebuah daerah kabupaten seperti halnya Kabupaten Tangerang yang dipimpin oleh Bupati Ismet Iskandar dan Rano Karno , urgensi menjamin dan menciptakan kesejahteraan sosial dan keamanan warga adalah hakikat dari sebuah cita-cita . Parameter kesejahteraan dan keamanan sebuah daerah atau sebuah komunitas tersebut setidaknya dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain, (1) tingkat pendapatan masyarakat, (2) prasarana ekonomi, (3) prasarana sosial, (4) struktur kegiatan ekonomi, (5) dan tingkat pengganguran. Untuk konteks pembangunan di daerah dewasa ini, harus diakui bahwa tingkat intervensi pemerintah daerah sampai hari ini masih belum optimal terutama ‘kesenjangan” antara wilayah .
Kalaupun ada kebijakan-kebijakan pembangunan acapkali lebih terasa di daerah-daerah tertentu yang secara sosial ekonomi telah memperlihatkan kondisi yang baik. Hal ini justru mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dan kemiskinan yang secara nyata telah menciptakan garis demarkasi antara daerah kaya dan daerah miskin.

Tugas utama pemerintahan daerah adalah memfasilitasi tumbuhnya ide-ide kreatif, inovatif dari masyarakat tersebut. Sayangnya untuk konteks kabupaten Tangerang, otonomi daerah hanya diperlakukan sebagai intergovernmental relations ketimbang relasi antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini pada kenyataannya berakibat terabaikannya kepentingan-kepentingan yang muncul dari arus bawah masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah belum cukup memberikan jaminan kuatnya posisi tawar rakyat ketika berhadapan dengan Pemda.
Tujuan utama dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Beragam usaha dari berbagai sektor terus dikembangkan dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Meskipun penegasan pembangunan adalah pembangunan partisipatif (participatory) yang harus melibatkan seluruh elemen masyarakat sering dikumandangkan semenjak masa pemerintahan Orde Baru, tetapi kenyataannya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi partisipan aktif pembangunan. Padahal, partisipasi masyarakat yang dikehendaki meliputi participatory continuum

Pemerintah Kabupaten Tangerang memang berupaya memperbaiki jalan seperti di pantura ,Tangerang barat dan Tangerang tengah ini dengan betonisasi. Namun, proyek betonisasi itu baru dikerjakan di sejumlah ruas mulai dari Kronjo hingga Mauk. Itu pun baru separuh jalan. Jalan yang dibeton itu mulai dari Kosambi, Teluk Naga, Pakuhaji, Cituis, Sukadiri dan dikerjakan sejak medio 2006 hingga 2009 ini. Biayanya memang mahal, Rp 125 miliar. Pemkab Tangerang meminjam dana ini dari Bank Jabar. Jika jalan lingkar utara ini rampung, dampaknya pada investasi serta pembangunan industri. Belum lagi Jalan lingkar selatan (JLU) yang menghubungkan Tigaraksa dan kecamatan Cisauk.

Sebagai pembelanja besar, sangat logis bila posisi Pemerintah Daerah sangat kuat di hadapan penyedia barang/jasa seperti supplier, kontraktor, dan konsultan. Dengan total belanja lebih dari 1 Trilyun, Pemerintah Daerah menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi penyedia barang dan jasa tersebut. Kita dapat mengupamakan sebuah Super Market besar di hadapan supplier-supplier kecil. Tentu sang Super Market dapat menerapkan standard kualitas cukup tinggi dengan harga yang kompetitif. Supplier kecil akan berkompetisi, berupaya dengan segenap daya untuk mendapatkan order dari Super Market besar tadi.
Namun secara empiris ada fenomena yang mengherankan dalam belanja Pemerintah Daerah ini.

Walaupun berbelanja lebih banyak dari grosir kertas umpamanya, harga kertas yang diperoleh Pemerintah Daerah jauh lebih mahal daripada harga yang ada di super market biasa. Mungkin pajak sering dituding sebagai faktor yang menaikkan harga tersebut, namun sayang argumen ini terlalu mudah untuk dipatahkan. Dalam transaksi dengan Pemerintah Daerah, pajak penghasilan penyedia barang/jasa dan kewajiban administratif PPN berkaitan dengan transaksi tersebut memang telah ditunaikan. Tidak ada tambahan beban pajak bagi penyedia barang/jasa dalam transaksi ini, kecuali apabila biasanya mereka memang tidak menunaikan kewajiban pajaknya dengan benar. Mengamankan segenap kewajiban pajak dalam transaksi pengadaan barang/jasa publik memang merupakan kebijakan umum Pemerintah. Lalu, mengapa pula belanja Pemerintah Daerah mesti lebih mahal dibandingkan misalnya belanja serupa yang kita lakukan untuk keluarga atau perusahaan kita???

Menurut Adnan Topo Husodo dari ICW , “bila kita menengok Keppres 80 tahun 2003 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 3 November 2003, kita akan menemukan pedoman yang baik dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah”. Filosofi pengadaan barang/jasa pemerintah disebutkan dalam poin menimbang yang diperkuat pada bagian maksud dan tujuan yaitu; agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Keppres 80 /2003 ini juga menjelaskan lebih lanjut makna yang terkandung dalam filosofi di atas. Pada bagian ketiga yang menjelaskan tentang Prinsip Dasar, pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
• efisien: berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
• efektif: berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
• terbuka dan bersaing; berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
• transparan; berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
• adil/tidak diskriminatif; berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan pada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan apapun;
• akuntabel; berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan, maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan baramg/jasa.
Dalam suatu diskusi dengan masyarakat, penulis mendapati keluhan umum tentang rendahnya kualitas jalan-jalan kita. Ada aduan yang mengatakan jalan yang kita bangun hanya kuat tiga bulan, bahkan ada pengakuan pejabat dinas yang menyatakan jalan hanya kuat bertahan satu bulan. Lebih parah lagi ada aduan masyarakat yang menyatakan jalan di lingkungannya hanya tahan satu minggu setelah diperbaiki Pemerintah Daerah. Fenomena umum ini jelas tidak merefleksikan Akuntabilitas yang menjadi salah satu prinsip dasar pengadaan barang/jasa.
Tidak akuntabelnya hasil pembangunan ini mengindikasikan penyimpangan prinsip-prinsip dasar di atasnya. Sudah adilkah dan tidak diskriminatifkah penyelenggaraan lelang kita? Sudah transparan, terbuka, dan bersaingkah pelaksanaan lelang kita? Sudah efisien dan efektifkah lelang kita? Bila melihat hasil pembangunan jalan-jalan kita, sangat mungkin banyak yang tidak-tidak atau yang bukan-bukan dalam pelaksanaan lelang pembangunan jalan-jalan tersebut.

Dan apabila terhadap pembangunan jalan-jalan yang kasat mata dan terasa nyata saja banyak yang tidak-tidak dan bukan-bukan, sangat boleh jadi secara umum banyak pula yang tidak-tidak dan bukan-bukan dalam proses pengadaan barang/jasa kita. Conflict of interest yang terjadi juga perlu dicermati. Hal ini setidaknya terefleksi pada kelu lidahnya pejabat untuk menegur penyedia barang/jasa pemerintah yang kebetulan adalah kerabat yang bersangkutan. Dalam situasi seperti ini jargon tahun kualitas yang digadang-gadangkan Ismet Iskandar bersama kabinetnya terancam dan hanya lip service serta mimpin saja dan akan tinggal kandas.***

Tidak ada komentar: