Minggu, 21 Juni 2009
CUCI BAJU
Kulepas sepatu dan membiarkan kaki telanjangku menyentuh dingin lantai marmer. Cekungan retak di sana sini penuh kubangan air, bekas sentuhan sayang sang hujan.
Kaki telanjangku memutari dinginnya lantai dansa dengan bebasnya. Terasa dingin dan senyap malam itu. Namun rengkuhan sayap sang sunyi, mampu membuatku mendengar, bunyi gremisik helai terakhir daun kering, lepas dari dahan.
Dalam pejaman mata, kubiarkan kakiku berdansa, tanganku terentang, tubuhku berputar, -seperti seorang sufi yang menarikan tari Mehfil- dalam sadarnya. Semakin dalam sensasi berputarku, di pekatnya mataku, justru terlihat jelas sulur-sulur berwarna-warni, layaknya lampu-lampu jalan yang menghias malam.
Sulur-sulur yang bertumpang tindih, saling bertabrakan, dan mengeluarkan pijaran-pijaran listrik yang membuat dinding otakku berdenyut kencang. Semakin kencang aku berputar, semakin terasa kejutan listik dalam tiap labirin otakku.
Sampai kini kucoba memahami apa yang terjadi. Se-takzim anak, mendengarkan petuah ibundanya. Tapi sungguh tak bisa. Pikiranku penuh, tak fokus, dan payah. Tetesan hujan yang mulai membasahi wajah, tubuh, dan diriku, tak lagi mampu menghapusnya.
Dalam pagutan malam, dalam senandung derai hujan, rasa sejuk serasa enggan mampir. Benar tak ada, selain gigitan dingin yang makin menusuk belulang.
Kepenatan ini sungguh di ambang batas. Menyiksaku dengan kejamnya, memagutku dengan sadisnya, melumatku dengan rakusnya, menyetubuhiku dengan liarnya.......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar