Kamis, 07 Mei 2009
Memberantas Korupsi, Mulailah dari Sekolah
Memberantas Korupsi, Mulailah dari Sekolah
KEPUTUSAN sekolah gratis untuk SD dan SMP, di mata Direktur Institute for Education Reform Utomo Dananjaya, bisa menjadi sebuah peristiwa yang sangat heroik.
UTOMO membayangkan keputusan sekolah gratis disampaikan melalui instruksi langsung yang dibacakan Presiden, disiarkan oleh semua stasiun televisi. Isinya, pengumuman bahwa masyarakat tidak perlu membayar untuk memperoleh pendidikan SD dan SMP. Semua buku pelajaran diberikan gratis oleh pemerintah. Siapa pun kepala sekolah yang menarik pungutan dari siswa akan dihukum dan diberhentikan sebagai pegawai negeri. Aparat kepolisian diminta mengawasi dan melakukan penegakan hukum serta meminta agar masyarakat melaporkan setiap kasus pungutan di sekolah kepada polisi.
“Dampaknya akan besar sekali. Ini merupakan proses pendidikan untuk melibatkan masyarakat akan terlibat dalam gerakan antikorupsi,” kata Utomo menjelaskan.
Pendidikan antikorupsi memang sebaiknya dimulai dari sekolah karena selama ini sekolah menjadi salah satu sumber korupsi dan penyebarluasan budaya korupsi.
Sekolah yang memiliki tugas mulia dalam mencerdaskan bangsa ternyata bukan institusi yang bersih dari korupsi. Departemen Pendidikan Nasional, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2003, merupakan departemen terkorup setelah Departemen Agama. Korupsi dalam dunia pendidikan, menurut laporan Indonesian Corruption Watch, dilakukan secara bersama- sama dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan kepada siswanya praktik-praktik korupsi.
Korupsi dana pendidikan, menurut Ade Irawan-aktivis Indonesian Corruption Watch- menyangkut baik dana pemerintah maupun dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Bila aparat birokrasi selama ini mengeluhkan dana pendidikan yang kecil, ternyata dana yang kecil itu dikorup pula.
Investigasi ICW dalam pengadaan buku pelajaran di beberapa daerah menunjukkan bahwa korupsi pendidikan masih jalan terus. Beberapa kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, menganggarkan pengadaan buku miliaran rupiah. Yang terkecil Rp 5 miliar, tetapi ada kabupaten yang menganggarkan pengadaan buku pelajaran sampai Rp 30 miliar. Korupsi dilakukan sejak proses pengambilan keputusan, pengadaan buku tidak melalui tender, hingga distribusi buku ke sekolah. Ujung-ujungnya banyak siswa tidak menerima buku. Itu pun kalau tidak buku yang diterima jumlah halamannya berkurang, bahkan tidak bisa dipakai sama sekali.
Korupsi juga terjadi di sekolah. Ade mengemukakan, banyak sekolah di Jakarta dan Jawa Barat tidak memasukkan komponen dana pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Sebuah SD favorit di Jakarta menerima dana block grant Rp 55 juta yang menjadi komponen tetap pembiayaan sekolah, tetapi tidak mencantumkannya dalam RAPBS. Anggaran SD favorit di Rawamangun, Jakarta Timur, itu mencapai Rp 2,7 miliar, hampir 50 persen dianggarkan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai. Hanya sekitar 15 persen sampai 20 persen anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan akademis. Di sebuah SMP negeri di Jakarta Selatan, dari dana sekolah sebesar Rp 412 juta yang dipungut dari masyarakat, 75 persen di antaranya dipergunakan untuk kesejahteraan guru dan pegawai. Hanya 15 persen dialokasikan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar. Anehnya, ada pula alokasi anggaran 1,5 persen untuk koordinasi dengan dinas pendidikan di kecamatan dan 1 persen untuk dinas di tingkat kota. Bahkan, ada pos anggaran Rp 5.250.000 untuk polisi.
“Jadi dana yang masuk sekolah dijadikan bancakan, dibagi-bagi. Lebih banyak dana yang masuk ke kantong kepala sekolah,” kata Ade.
Kekaburan dalam sistem anggaran sekolah memungkinkan kepala sekolah negeri mempraktikkan anggaran ganda. Dana operasional atau pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat. Bahkan, ada kasus dana perawatan gedung tidak hanya dianggarkan melalui dana pemerintah dan dana komite sekolah, tetapi masih juga dibebankan kepada anak secara langsung dengan dalih lomba kebersihan antarkelas.
Selain penganggaran ganda, modus yang sering digunakan kepala sekolah adalah penggelapan. Banyak biaya yang semestinya dikeluarkan sekolah ternyata tidak dikeluarkan. Praktik ini sangat mencolok sehingga sejumlah bendahara sekolah menjadi kolektor stempel dan bukti pembayaran sehingga ia tinggal memilih stempel dan bukti pembayaran bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Modus lainnya adalah uang dibagi-bagi dengan setoran ke dinas, memberikan amplop kepada pejabat yang datang ke sekolah, termasuk pengawas. Kepala sekolah yang pelit memberikan setoran bakal dimasukkan daftar hitam dan tidak akan pernah menerima dana-dana proyek.
Guru juga merupakan pelaku sekaligus korban dalam korupsi pendidikan. Guru olahraga memungut biaya renang. Anak tidak ikut renang dan tidak ikut lari asal bayar uang renang, semuanya akan beres. Sebaliknya, bila tidak bayar uang renang, nilai tidak akan keluar. Yang memprihatinkan lagi ada guru yang memperbolehkan siswanya menjiplak dalam ulangan asalkan membayar Rp 500 per lembar. Dari menyontek dan jual beli nilai, pendidikan korupsi dimulai.
Seorang guru di sebuah SMA negeri di Jakarta Pusat mengungkapkan, dari sekolah ia menerima tunjangan hari raya sebesar Rp 400.000, yang diambil dari sumbangan awal pendidikan. Selain gaji sebagai pegawai negeri sipil, ia memperoleh tunjangan kesejahteraan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 900.000, uang transpor dari sekolah Rp 11.000 per hari, dan tambahan honor mengajar Rp 6.000 per jam. Total penghasilannya di atas Rp 2,5 juta. Penghasilan guru di sekolah negeri yang diunggulkan akan jauh lebih besar. Tunjangan seorang kepala sekolah yang diambil dari uang komite sekolah bernilai jutaan rupiah, jauh melebihi dari gaji resminya. Tidak heran apabila kepala sekolah-sekolah negeri papan atas di Jakarta memiliki rumah dan mobil mewah.
Ketika orang sibuk membicarakan persiapan ujian nasional, sejumlah kepala sekolah di Jakarta Pusat justru mengikuti program jalan-jalan ke China dengan bungkus “studi banding”.
Penghasilan guru sekolah negeri sebesar itu cukup mengagetkan bagi Toenggoel Siagian, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta DKI Jakarta. Toenggoel mengungkapkan, ia memperoleh gaji sebagai direktur di Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) sekitar Rp 3 juta per bulan. Gaji itu tertinggi di perkumpulan tersebut. Koordinator SMP PSKD yang memperoleh gelar master dobel hanya bergaji Rp 875.000 per bulan.
Penghasilan guru negeri di Jakarta yang cukup lumayan itu, ketika kinerja sekolah di Jakarta tidak terlalu bagus, menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas penggunaan dana pendidikan di sekolah negeri. Seorang guru SMP negeri di Jakarta mengungkapkan, sebenarnya bisa saja sekolah negeri di Jakarta digratiskan. Dengan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah sekitar Rp 900.000 per bulan, guru bisa disuruh memilih. Silakan tetap memungut dari siswa, tetapi tunjangan kesejahteraan tidak diberikan. Ia yakin, guru akan memilih tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah.
Keputusan politik untuk membebaskan biaya sekolah di tingkat pendidikan dasar akan menjadi bahan tertawaan bila tidak disertai larangan sekolah memungut biaya-biaya lain dari siswa. Seperti dulu, SPP dihapus, tetapi muncul uang BP3 atau iuran komite sekolah yang jumlahnya lebih besar dari nominal SPP. Kalau itu terjadi, sekolah akan terus menjalankan fungsinya dalam mengorupsikan bangsa.
Kalau mau memberantas korupsi mulailah dari sekolah. Komisi Pemberantasan Korupsi jangan hanya mengurus Komisi Pemilihan Umum, tetapi turunlah ke Depdiknas dan ke sekolah-sekolah.
(Dikutip dari rilis P Bambang Wisudo)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar