Sabtu, 27 Desember 2008

ARTIKEL



BERHARAP PADA APBD 2009 DI KABUPATEN TANGERANG

Secara normatif, prinsip Pengadaan Barang dan jasa menurut pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan jasa adalah efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, dan adil/tidak diskriminatif, serta akuntabel.Selain itu kebijakan umum pengadaan bararang/jasa pemerintah juga dimaksudkan antara lain untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja mengembangkan industri dalam negeri meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa; serta menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa.
Pengadaan barang dan jasa tiap instansi pemerintah seharusnya didasarkan pada Rencana Tahunan yang merupakan penjabaran dari Renstra Instansi, sehingga barang/jasa dibeli, karena memang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi instansi. Aspek penting lain dalam pengadaan barang/jasa adalah pertimbangan profesionalisme dan integritas dari Pimpinan, Kuasa Pengguna Barang (KPB) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta dalam pemilihan Panitia pengadaan dan Pimpinan Proyek
Sebagai pembelanja besar, sangat logis bila posisi Pemerintah Daerah sangat kuat di hadapan penyedia barang/jasa seperti supplier, kontraktor, dan konsultan. Dengan total belanja lebih dari 1,7 Trilyun, Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi penyedia barang dan jasa tersebut. Kita dapat mengupamakan sebuah Super Market besar di hadapan supplier-supplier kecil. Tentu sang Super Market dapat menerapkan standard kualitas cukup tinggi dengan harga yang kompetitif. Supplier kecil akan berkompetisi, berupaya dengan segenap daya untuk mendapatkan order dari Super Market besar tadi.
Namun secara empiris ada fenomena yang mengherankan dalam belanja Pemerintah Daerah ini. Walaupun berbelanja lebih banyak dari grosir kertas umpamanya, harga kertas yang diperoleh Pemerintah Daerah jauh lebih mahal daripada harga yang ada di super market biasa. Mungkin pajak sering dituding sebagai faktor yang menaikkan harga tersebut, namun sayang argumen ini terlalu mudah untuk dipatahkan.
Dalam transaksi dengan Pemerintah Daerah, pajak penghasilan penyedia barang/jasa dan kewajiban administratif PPN berkaitan dengan transaksi tersebut memang telah ditunaikan. Tidak ada tambahan beban pajak bagi penyedia barang/jasa dalam transaksi ini, kecuali apabila biasanya mereka memang tidak menunaikan kewajiban pajaknya dengan benar.
Mengamankan segenap kewajiban pajak dalam transaksi pengadaan barang/jasa publik memang merupakan kebijakan umum Pemerintah. Lalu, mengapa pula belanja Pemerintah Daerah mesti lebih mahal dibandingkan misalnya belanja serupa yang kita lakukan untuk keluarga atau perusahaan kita???
Bila kita menengok Keppres 80 tahun 2003 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 3 November 2003, kita akan menemukan pedoman yang baik dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Filosofi pengadaan barang/jasa pemerintah disebutkan dalam poin menimbang yang diperkuat pada bagian maksud dan tujuan yaitu; agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui Adnan Topan Husodo, 22 Februari 2007 , juga mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi paling banyak mencuat pada proyek pengadaan.
Hal itu terutama karena proses pengadaan barang/jasa tidak dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka (tender), melainkan dengan penunjukan langsung. Padahal melalui penunjukan langsung, pelaksanaan proyek dapat menimbulkan konsekuensi pelanggaran hukum.dari sisi persaingan usaha sebagaimana telah diatur UU No. 5 tahun 1999, penunjukan langsung menutup peluang terjadinya kompetisi berkualitas.


Muncul beberapa pertanyaan ketika di sana-sini terdengar selentingan tentang keenganan pegawai untuk menjadi Panitia pengadaan ataupun Pimpinan Proyek pengadaan barang/jasa pemerintah. Pertanyaannya: Apakah tidak ada credit point/angka kredit tersendiri sebagai apresiasi jika pegawai mampu menjadi pimpro yang profesional?
Atau karena takut menghadapi risiko kegagalan dan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, atau apakah mekanisme pengadaan terlalu sulit untuk dilaksanakan, atau karena ada ”beban-beban” tertentu yang dititipkan kepada mereka?

Penelitian yang dilakukan oleh KPK (23/8/2006), menunjukkan bahwa selama ini penunjukan Panitia Pengadaan dan Pimpinan Proyek tidak dilakukan atas dasar pertimbangan profesionalisme dan integritas, tetapi lebih didasarkan pada kedekatan-kedekatan tertentu, hubungan kekeluargaan antara Pimpinan lembaga dengan pegawai yang bersangkutan, dan/atau kesanggupan dari pegawai yang bersangkutan untuk memenuhi beban-beban yang diberikan kepadanya sebagai Pimpinan Proyek atau Panitia Pengadaan Barang/Jasa.
Selain ’beban’ yang diletakkan di pundak Pimpro dan Panitia Pengadaan, disinyalir ada intervensi dari luar instansi. Intervensi ini mungkin berupa titipan proyek, atau ’pesan-pesan’ lain.Salah satu modus operandi kolusi/nepotisme dengan pihak-pihak di luar instansi adalah adanya proyek-proyek yang ’dijinjing’ dari swasta/calon rekanan, yang menjanjikan dapat mengatur penyelesaian proses perencanaan anggarannya dengan otoritas politik dan otoritas keuangan. Kemudian adanya unsur otoritas politik dan otoritas keuangan/perencanaan yang juga menitipkan proyek/rekanan tertentu, dengan janji-janji yang sama. kibatnya pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan Renstra instansi/SKPD, dan tentu saja tidak akan sesuai dengan kebutuhan yang nyata.
Fenomena penggunaan APBD Kabupaten Tangerang yang ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan fenomena globalisasi yang ditandai dengan saling ketergantungan (interdependency) antar daerah terutama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi **

Ditulis dan di Muat di Koran Tangerang Tribun edisi Desember 2008 oleh Budi Usman.

2 komentar:

megat mengatakan...

  I think your blog is really interesting ... especially this post :)

bUdi UsmaN mengatakan...

OK