Jumat, 22 Mei 2009

SEKOLAH GRATIS JELANG PILPRES


Kebijakan sekolah gratis yang digulirkan menjelang Pilpres 2009, menyimpan banyak pertanyaan. Sebagai sebuah arah kebijakan, tentu saja pilihan ini benar, bahkan seharusnya sudah jauh-jauh hari pemerintah mengambil langkah ini. Akan tetapi, mengapa pemerintahan SBY baru berani menggulirkan program tersebut menjelang akhir masa jabatannya? Apakah kebijakan ini merupakan agenda nasional yang konsisten, atau lebih berupa komoditas politik terkait pemilihan presiden? Pertanyaan ini mengemuka, mengingat sebelumnya di level daerah, isu yang sama banyak digunakan calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada. Selain itu, saat ini adalah saat yang tepat bagi pemilih untuk mencermati kapasitas para Capres, dan memilih Capres, berdasarkan isu diatas. Capres mana yang memiliki komitmen paling tinggi terhadap tercapainya pendidikan gratis, dan yang memiliki strategi, khususnya strategi anggaran, yang paling tepat?

Ada tiga catatan penting atas 5 tahun masa kepemimpinan SBY, terkait isu pendidikan gratis dan anggaran. Pertama, pendidikan gratis lebih sebagai komoditas politik dibanding sebagai sebuah kebijakan yang konsisten. Ini ditunjukkan dari belum adanya kebijakan yang komprehensif dengan road map yang jelas. Akibatnya, tidak jelas komponen yang gratis, tidak tersedia unit cost semua daerah sebagai acuan, tidak tegas instruksi pendidikan gratis ke daerah, dan tidak tegas sangsi bagi pelanggaran. Saat ini masih banyak pungutan di sekolah, yang menyebabkan sekolah menjadi mahal, dan fakta angka partisipasi sekolah, khususnya SMP, masih rendah (<60%). Kedua, profil anggaran tidak konsisten dan efektif dalam mendukung pendidikan gratis. Anggaran birokrasi sangat besar (sekitar 30%), anggaran yang sampai ke sekolah (operasional) sangat kecil (<10%), ketimpangan desentralisasi fiskal karena pusat mendominasi belanja modal (70% pusat), dan tidak jelas pembagian pembiayaan pusat-daerah. Ketiga, banyaknya kebocoran anggaran pendidikan. Penelitian PATTIRO (2008-Brooking Institution) menunjukkan adanya 7 pola kebocoran yang dialami semua skema yang diteliti (7 skema anggaran: DAK, Dekon, Block Grant, Rehab APBD, BOS, BOS Buku, BOS APBD), dengan besaran masalah hingga 67%.

Belajar dari fakta tersebut, setidaknya ada tiga catatan penting bagi pemilih untuk menimbang para Capres yang akan datang. Pertama, mencermati komitment Capres tinggi untuk kebijakan pendidikan gratis. Khususnya dengan menilai road-map yang dirancang dan strateginya. Kedua, mencermati strategi anggaran Capres untuk mencapai kebijakan tersebut. Beberapa point penting dari strategi tsb adalah: mengurangi biaya administrasi, meningkatkan anggaran (investasi dan operasional) yang sampai kesekolah, menegaskan pembagian pembiayaan pusat & daerah, dan memperbesar anggaran yang didesentralisasikan, khususnya belanja modal. Ketiga, mencermati strategi para Capres untuk memperbaiki kebocoran anggaran pendidikan. Ke depan, Capres dituntut memperbaiki kebocoran bukan hanya kasus-per-kasus, tapi kebocoran yang sistemik, dengan cara: transparansi distribusi skema anggaran (pusat dan daerah), simplifikasi skema penyaluran ke sekolah (one school one account), perbaikan manajemen keuangan tingkat sekolah, serta penguatan monitoring penggunaan anggaran, khususnya peran DPR/DPRD dan Komite Sekolah

Tidak ada komentar: